Minggu, 30 Oktober 2011

hulu ke-hilir

gerahamnya hampir rontok buat sekedar berubah posisi,
jadi dia diam diantara kejengahannya,
ia tidur tapi antara iya dan tidak,
"tidak lagi seperti dulu para kaum-ku ini" batinnya,

dia bukan lagi yang dipandang,
dia telah bukan lagi menjadi pemilik singgasana,
ia dibuang diantara tumpukan sampah yang sudah disampahkan dan disampahkan berulang kali,
garisnya telah hilang ditelan,
tapi garis lain muncul diantara garis-garis lalu yang disamarkan dari pandangan,
garis hidupnya yang baru telah terbentang berbengkok,berkelok-kelok,
memikirkan dan melihatnya sangat curam,

sama bergetar-nya seperti anak SMA,
hendak kemana dikemanakan ijazah tahun ini,

hidup--hidup--
mengulangnya mengulangnya dalam batin disedalamnya,
iya harus turun kehilir,
tidak lagi mampu naik kehulu,
jadi harus mengalah pada hidup buat kali ini,

Sabtu, 29 Oktober 2011

pemilik wajah klasik


aku mencarimu diantara tumpukan jerami,
aku menantimu seukur umur menuai padi,
aku melukismu didinding rumah suwung,
aku memimpikanmu disetiap waktu yang kucuri dari tuanku,
si pemilik yang tersebut dibalada kuno moyangku,
si wajah teduh yang menyapa ramah seperti agama yang paling selamat,
si pemberani  seperti hamza sang pelindung,

aku hanya suruhan tuan pesuruhku,
mencari pemilik wajah klasik yang ada dibumi,
lalu menuangkan deskripsi film tentang keklasikanmu,

sekali kupandang langit berlapis,
lalu sekali kutundukkan punukku kebumi,
mencarimu, dilubang semut mungkin,
mencarimu, mungkin bertemu jibril pemberi wahyu,
meski aku 1000 kali bukan nabi,
mungkin aku hanya akan beruntung,

tuan pesuruhku hanya menyuruhku mencari,
ada 1000 korban penilaianku untuk keklasikanmu,
tapi aku pewaris semangat baja alfa edison,
berharap arah berujung pada pemilik wajah klasik sepertimu,

Kamis, 06 Oktober 2011

form@



hoje-ku terbatasi hari ini,
disekelumit kecil benang,
disebentuk macam sebuah forma karena sudah larut membenahkannya,
karena tak mampu tuk menahan merahnya lagi,

partido kami sudah tidak cukup dikatakan minor,
biar dipojok ruang dingin kami,
biar semenyedihkan kaca penuh debu didinding pojok kamar kami,
tapi tak semenyedihkan kami yang terpojok dikebenaran siang,
disekeliling para beliau kami,

kita sedang sama-sama belajar
kita sama-sama percaya keniscayaan keadilan!
sekali dua kami berdecak tingkahi,
tapi kembali ketika terbentuk formasi semacam demo,
dilantai atas dan bawahnya kami,
dibangku sekolah dengan formasi pandangan musuh,

disikut dipintu keluar,
disikut dibawah pandangan tajam bercelak,
disikut dengan derai tawa pertahanan,
disikut ditajamnya lidah tertasah buih,
disikut disebutan bisik"
disikut diperlakuan ditidak adili,

rasanya semenyayat lolongan anjing hutan dipedalaman riau,
rasanya semenyayat sabetan lidi dipunggung,
sepedulimu, tafadhal